Bulan puasa, istilah lainnya, bagi segolongan orang merupakan
saat-saat belajar empati. Mereka berempati bagaimana rasanya hidup kekurangan. Minimal
dalam sebuah aspek kehidupan. Dan itu adalah aspek yang paling mendasar, lapar
dan haus.
Kata bu ustadzah, puasa yang terpenting adalah menahan
nafsu. Setelah merasakan susahnya menahan lapar dan haus, mereka yang lebih
mampu dan berhati nurani lalu tergerak. Mereka menyumbang takjil. Kepada tetangga, musholla, masjid,
pengguna jalan, yatim, fakir, saudara, teman, musuh, dan sebagainya. Mereka
mengeluarkan infaq, shodaqoh, zakat, dalam berbagai bentuk dan cara. Terima
kasih kepada bu ustadzah yang telah memotivasi mereka agar berlomba dalam
kebaikan. Kata beliau, momentum ramadhan memiliki keutamaan.
Namun di sisi lain ada golongan yang bermewah-mewah. Yaitu mereka yang kesehariannya
hidup dalam kelabilan. Hidup mereka kadang sehari makan sekali, dua kali, tak
sekalipun, tiga kali. Kadang sehari makan dan sehari puasa, dua hari makan dan
sehari puasa. Kadang makan lauk garam, tahu, tempe, mi instan, dan berbagai
variasinya. Maksudnya variasi tahu-mi, tempe- mi, tahu-tempe, mi-tahu, mi aja,
garam aja, dan seterusnya. Mereka ini
sebenarnya bukan pemalas, hanya kurang beruntung atau belum saatnya merasakan
nikmatnya berkecukupan saja. Bagi mereka, dalam gelombang pandemi, situasi
makin menantang.
.
Nah, bagi mereka momen Ramadan adalah saat merasakan makanan
mewah. Mereka berpeluang menikmati es kopyor, es buah, sirup manis, susu
bermacam rasa dalam kemasan promo, dan
berbagai macam minuman yang biasanya tak mereka cicipi. Mereka bisa makan nasi
campur dengan bumbu kare, kecap, lodeh, nasi Padang, telur gadar, ayam krispy,
dendeng, dan apa lagi ya.. Walaupun itu semua didapat secara gratis dan adanya
hanya waktu buka. Itu semua bisa didapatkan di masjid, tepi jalan, taman kota,
depan pasar berlantai licin, musholla. Di depan Gedung perkantoran pun bersaing menawarkan berbagai
menu yang menggiurkan.
Bahkan bisa jadi kemewahan itu datang sendiri. Tetangga
mereka yang lebih beruntung berbagi menu buka hari itu karena kebetulan putra
bungsu lagi ultah. Di hari lain mendadak seorang pegawai dari pabrik sabun
sebelah mengantarkan nasi dalam kotak bertuliskan nama produknya. Situasi
seperti ini adalah sesuatu yang langka.
Pemasukan harian mereka yang cukup untuk makan sekali dibagi
untuk sehari, jadi bisa dialokasikan untuk sahur. Jika sebungkus mi instan
dibagi sekeluarga, saat itu tersedia dua bungkus. Untuk buka mereka bisa
berharap dari masjid, asal nggak terlambat jadwal datangnya. Sukur-sukur kalau
ada tambahan nasi kotak dari orang baik yang lain.
Mereka hanya bisa merasakan makanan enak di bulan seperti
ini. Belum lagi tiba-tiba ada bonus paket sembako dari seseorang. Yang mana itu
adalah sebagian dari kelebihan pendapatan dia. Terlepas itu didapat secara
benar atau salah. Terlepas dari motivasi pemberiannya karena Tuhan atau
sesamanya.
Orang-orang labil ini memanfaatkan aji mumpung. Mumpung ada
kesempatan merasakan nikmatnya makanan mewah gratis. Sebab pada bulan selainnya
mereka puasa.
Terima kasih bu ustadzah yang telah menggelorakan semangat
berbagi. Terima kasih buat orang baik berakal jernih yang mau berbagi walaupun
kelebihan mereka hanya secuil. Semoga mereka terlindungi dari kelakuan golongan
berotak korup yang suka mencaplok jatah banyak orang. Semoga Ramadhan
melahirkan jiwa-jiwa fitrah yang tegar menghadapi hidup demi merengkuh
ridha-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar