21 Nov 2013

Dokter dan Pendidikan Dokter di Indonesia


Gara2 status iki aku poleh blakraan nggolek artikel ttg kedokteran nang Endonesa. Trus gawe perbandingan aq leles artikel ttg kedokteran nang malesya.
 Menjadi Dokter itu harus berjiwa sosial bukan menaikkan status sosial
#LahirCeprotDadiDokter

Saya baru tau ternyata di malesya 10an tahun yg lalu kekurangan dokter. Akhirnya dept kesehatan menggenjot system pendidikan dokter. Jumlah lembaga pendidikan ditambah, baik itu institusi negeri atau swasta-negeri (kerja sama). Di malesya juga ada anggepan prestisius kalo jadi dokter. Masyarakat nggak memahami bahwa profesi dokter adalah komitmen merelakan sebagian besar jatah hidup seseorang demi menolong orang lain.

Hasile saiki, malah kebanyakan dokter, malah ada dokter yg nganggur katanya. Tapi ada juga yang beropini kalo sebetulnya di wilayah terpencil masih ada yang butuh dokter, jadi nggak ada alas an kalo dokter sampe nganggur. Tapi aku mbayangno terpencil’e malesya nggak koyok terpencil’e kene.

Di Malesya udah ada standarisasi harga jasa dokter. Namun karena jumlah dokter yang sangat banyak, ada dokter yang sampe menurunkan harga pelayanan di bawah standar gara2 ketatnya persaingan. Bicara masalah mahalnya pendidikan dokter, ternyata juga menyerang malesya. Semakin kesini makin mahal biayanya, beberapa pihak menghendaki campur tangan pemerintah untuk membatasi tingginya biaya pendidikan dokter.

Dari sebuah artikel berita, saya jumpai pernyataan bahwa kualitas dokter di indonesa makin kesini makin menurun. Penyebabnya makin banyak fakultas kedokteran yang kurang berkualitas. Sebagian dari mereka lebih mengejar profit. Pada sebuah artikel lain juga dibahas masalah yang sama: profit oriented. Padahal sejatinya udah ada standar baku kualitas institusi pendidikan medis secara internasional.

Kalo pun udah lulus ternyata kondisi negeri ini juga jauh dari ideal dalam sisi pembangunan infrastruktur yang mendukung pendidikan medis. Semuanya masih jawa sentris, padahal kalo gak salah seorang dokter harus mau ditempatkan di wilayah lain (terpencil). Padahal untuk meningkatkan kualitas keilmuannya, seorang dokter dituntut belajar dan ikut pelatihan profesi. Cilakanya sebagian besar pelatihan itu adanya di jawa, dan untuk ongkos transport aja, mahalnya ampun2. Dapat duit dari mana? Apalagi wilayah yang ditempati udah terpencil, masyarakatnya miskin pulak.

Solusine, ya opo – ya opo yo pemerentah kudune sing mulai. Pendidikan dokter harusnya jangan sampe berubah jadi lahan bisnis. Subsidi negara buat bidang ini harusnya ditambah (tapi korupsine dikurangi, dibantai sih, sorry). Kualitas pendidikan kedokteran dijaga baik2. Pembangunan jangan lagi jawa sentris dong. Kalo regulator ada kemauan bertindak, Insya Allah kita sebagai masyarakat akan mau berperan serta.

Ini hanya asal tulis, saya cumak latihan melakukan pengamatan suatu masalah untuk kemudian menuliskannya. Ini hanya pengamatan dari pengalaman orang lain, kemampuan otak saya terbatas, kalo ada yang nggak sreg silahkan dimaki-maki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar