Tulisan ini sebetulnya salah satu usaha saya untuk merangkum sebuah hasil diskusi yang saya ikuti waktu minggu kemaren. Diskusinya sederhana, diskusi via grup whatsapp. Untuk yang satu ini, teknologi digital memang sanggup mendekatkan yang jauh, namun jangan sampai teknologi tersebut menjauhkan yang dekat, hehehe...
Mengapa tema pola hidup sederhana yang kita angkat? Banyak sekali alasan yang mendasarinya, antara lain...
Kondisi bangsa ini yang masih banyak berada di dalam tapal batas wilayah kemiskinan. Memahami kondisi itu, sebaiknya sebagian anggota bangsa yang lebih berkemampuan bisa berempati. Salah satu cara empati itu adalah dengan memilih gaya hidup sederhana.
Pola hidup konsumtif semakin berkembang. Pola hidup konsumtif adalah sebuah konsekuensi logis dari kemajuan industri. Industri akan selalu berkembang agar roda ekonomi berputar. Sebagai bahan bakarnya, dibutuhkan konsumsi. Semakin cepat perputaran roda itu, semakin banyak dibutuhkan ketersediaan konsumsi. Maka kemajuan ekonomi akan selalu berbanding lurus dengan bertambahnya konsumsi. Dengan demikian kita nggak bisa menyuruh industri untuk berhenti. Maka dari itu terserah kita aja, bagaimana mengatur pola konsumsi kita.
Pola hidup sederhana jangan diartikan dengan pola hidup sengsara, miskin, atau mungkin secara ekstrem menolak eksistensi kenikmatan harta. Ide pola hidup sederhana yang terangkum dalam diskusi kita adalah, pola hidup proporsional dan memberikan manfaat bagi banyak pihak. Pola hidup ini berpatokan pada bagaimana konsumsi yang kita lakukan sudah cukup memenuhi kebutuhan kita.
Kalo didasarkan pada teori ilmiah, kita melihat teori kebutuhan A Maslow. Mbah Maslow menyusun hirarki kebutuhan sebagai berikut:
1. Kebutuhan fisiologis atau dasar
2. Kebutuhan akan rasa aman
3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
4. Kebutuhan untuk dihargai
5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Berpedoman pada teori itu, kita dalam berkonsumsi cukup dengan bagaimana memenuhi kebutuhan di atas secara proporsional, nggak usah berlebih.
Pilihan nggak berlebihan emang sangat susah, mengingat godaan disekeliling kita yang sudah amat sangat konsumtif banget (lebay, deh....). Beberapa contoh sepele yang diungkapkan teman-teman:
Saat dia dan bersama keluarga pulang kampung, para tetangga menyambut kedatangan mereka. "aduuuh, lucunya bayi kamu...." sambil memegangi baju si bayi dan mengelus baju si bayi. Sebagai orang tua, tentunya hati akan membara melihat anaknya dibegitukan. Emangnya kenapa kalo si bayi nggak dibelikan baju merk yang mahal? Apakah si bayi akan mati? Apakah dengan begitu orang tua harus dilaporkan ke komisi perlindungan anak?
Kebiasaan latah upgrade gadget atau aplikasi baru. Yah untuk yang satu ini emang banyak banget contohnya. Beberapa diataranya adalah para pengguna gadget yang nggak memaksimalkan fitur gadget yang ia miliki. Asal punya duit, gadget harus update. Meskipun, hape blackberry hanya untuk bbm aja. Meskipun hape android, hanya untuk telepon dan sms-an aja, karena nggak tau cara pakainya dan emang temen2nya gak ada yang pake whatsapp. Gadget canggih tersebut dibeli hanya karena pengen ngikut trend dan biar keliatan gaya.
Selain pertimbangan pemenuhan kebutuhan secara proporsional, perkara lain yang juga jadi pertimbangan adalah: bagaimana harta yang kita belanjakan juga berkontribusi bagi masyarakat. Karena kita hidup bermasyarakat, baik atau buruknya pribadi kita, anak2 kita, atau keponakan kita akan dipengaruhi masyarakat. Kalau masyarakat baik, akan tercipta lingkungan yang baik dan nantinya akan memberi pengaruh yang baik bagi kita.
Pola hidup empati dengan kondisi masyarakat kebanyakan yang masih dalam kondisi lebih nggak mampu bisa menumbuhkan kebiasaan berbagi. Selain itu pula akan menumbuhkan rasa hormat kepada pribadi yang mau berbagi. Kasus gaya hidup bermewah-mewah gubernus Banten, Atut Chosiyah, membuat banyak orang memandang sinis padanya, sebab sebagai pemimpin yang wilayahnya banyak terdapat penduduk miskin, ia malah memperlihatkan gaya hidup berlebih.
Contoh sederhana, salah satu rekan yang pada waktu itu memiliki mobil, dengan senang hati meminjamkan mobilnya untuk keperluan hajatan beberapa rekan yang lain. Ini salah satu contoh sepele, bahwa ketika sesorang memiliki kelebihan, kelebihan itu bisa memberikan manfaat pada sekitarnya. Ini baru punya mobil, gimana kalo punya jabatan penting yang memiliki akses luas yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak? Harusnya lebih berpeluang untuk bisa berbuat baik untuk sesama (yang ini agak melenceng yah, hehehe).
Jadi...kesimpulannya: Pola hidup sederhana adalah pola hidup proporsional yang juga memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar